Korban Broken Home Dimangsa Predator Seksual, Secuil Kisah Pencabulan Sesama Jenis di Cupak, Kabupaten Solok, Sumbar
Secuil Kisah di Balik Pencabulan Sesama Jenis di Mushalla Surau Dagang, Cupak, Kabupaten Solok, SumbarKorban Broken Home Dimangsa Predator Seksual
Anak korban perceraian (broken home) menjadi santapan predator seksual di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Butuh penangan serius semua pihak dalam pemberantasan kekerasan seksual LGBT.
Dua laki-laki mendatangi Surau (mushalla) Nurul Hidayatul Abral di Jorong (dusun) Balerong, Nagari (desa adat) Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Minggu malam (1/3/2020), sekira pukul 21.00 WIB. Mereka, EPS (23) dan ROP (13), mengaku ke pengurus mushalla kemalaman dan tidak ada ongkos ke Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Sebagai yang lebih tua, EPS meminta izin ke pengurus mushalla untuk bisa menumpang menginap hingga pagi. Melihat kondisi dan alasan tersebut, pengurus mushalla akhirnya memberikan izin.
Sekira pukul 23.00 WIB, lampu penerangan di bagian depan mushalla dimatikan. Hal ini membuat sejumlah warga curiga. Sekira pukul 01.00 WIB, sejumlah warga yang sangsi, mendatangi mushalla tersebut dengan mengendap-endap. Melihat aktivitas keduanya. Ternyata, keduanya sedang tertidur pulas.
Selang beberapa lama, EPS terjaga dari tidurnya. Meski tidur di bagian mihrab mushalla, yang biasanya menjadi titik imam shalat, nafsu syahwat EPS tiba-tiba memuncak. Tubuhnya mendekat ke badan ROP. Pria pengangguran asal Jalan Batang Lembang, Kelurahan VI Suku, Kota Solok tersebut, melucuti pakaiannya dan pakaian ROP yang tidur di sampingnya. Keduanya sama-sama bugil. EPS memaksa ROP melakukan hubungan sesama jenis. Kejadian ini, adalah kali keempat bagi ROP dipaksa melayani nafsu syahwat menyimpang dari EPS.
Pukul 03.00 WIB, tiba-tiba kondisi buncah. Pengurus mushalla dan sejumlah warga yang mengintip gerak-gerik keduanya, tiba-tiba "menyerbu" ke dalam mushalla. Keduanya kaget dan tak berkutik. Emosi warga pun meninggi. Namun, pengurus mushalla dan sejumlah pemuda menenangkan massa yang akan mengamuk. Walinagari Cupak, Fatmi Bahar Dt Tuo, yang turun ke lokasi, ikut menenangkan warga dan menghubungi personel kepolisian Polsek Gunung Talang. Akhirnya, keduanya digelandang ke Mapolsek Gunung Talang. Karena melibatkan anak di bawah umur, kasus ini kemudian diambil alih oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Solok.
Pagi harinya, kejadian ini menjadi kabar viral di Kabupaten Solok, Sumbar, bahkan hingga ke tingkat nasional. Menghiasi laman media sosial, media online dan aplikasi jejaring semisal WhatApp (WA). Berbagai pihak mengutuk kejadian ini. Bupati Solok, Gusmal Dt Rajo Lelo, menyebut kejadian ini sangat miris dan memalukan. Gusmal mengajak seluruh komponen untuk duduk bersama mencari solusi dari permasalahan ini.
"Setahun yang lalu, kami di Kabupaten Solok pernah melakukan Muzakarah Ulama, untuk menemukan penyebab adanya perilaku LGBT ini. Karena, kalau kita bisa menemukan penyebabnya, pasti ada obatnya," ujarnya.
Gusmal juga meminta segenap elemen masyarakat harus bergerak dan berfikir ke arah itu. Apalagi kalau merujuk ucapan Wagub Sumbar, Nasrul Abit, di sejumlah media beberapa waktu lalu, yang mengatakan Sumbar tertinggi perilaku lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) di Indonesia.
"Insyaallah saya kembali akan membicarakannya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kementerian Agama (Kemenag) serta dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk membahas hal ini. Mudah-mudahan kita bisa menemukan obatnya," ungkapnya.
AKP Deny Akhmad Hamdany, S.IK, S.Kom Kasat Reskrim Polres Solok |
Kapolres Solok, AKBP Azhar Nugroho, S.IK, melalui Kasat Reskrim AKP Deny Akhmad Hamdani, S.IK, S.Kom, menyatakan pihaknya telah menetapkan EPS (23) sebagai tersangka dan ditahan di Mapolres Solok, Arosuka. Kasus ini, menjadi kasus menonjol perdana bagi AKBP Azhar Nugroho, S.IK, yang baru dua hari pisah sambut dengan Kapolres Solok sebelumnya AKBP Ferry Irawan, S.IK. EPS dijerat Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
"Dari pengakuan ROP yang masih di bawah umur, ia dipaksa EPS melakukan hubungan sejenis tersebut. Tindakan asusila ini sudah empat kali dilakukan EPS ke ROP. Kita terus melakukan interogasi, pendalaman dan pengembangan. Termasuk, dugaan adanya korban-korban lainnya," ujarnya.
Korban ROP, oleh penyidik Unit PPA Sat Reskrim Polres Solok, kemudian diserahkan ke Dinas Sosial Kabupaten Solok, untuk dilakukan pemulihan trauma kejiwaan. Selanjutnya, korban akan diserahkan ke pihak keluarga di Aie Dingin.
Pada Rabu (4/3/2020), Tim Dinas Perlindungan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Sumatera Barat turun ke Kabupaten Solok. Di samping melakukan pendalaman, tim yang dipimpin langsung Kepala Dinas PPPA Sumbar, Besri Rahmad itu membawa psikolog untuk melakukan trauma healing bagi korban. Besri menyatakan korban dipaksa melakukan hubungan menyimpang tersebut.
"Dari pengakuan korban ROP (13), tersangka EPS (23) sudah empat kali melakukan pemaksaan untuk melakukan hubungan seks sejenis ini. Korban mengalami trauma sehingga dilakukan trauma healing oleh tim psikolog yang dibawa Dinas PPPA. Korban tidak memiliki kelainan seks, sementara tersangka, hampir dipastikan memiliki perilaku seks menyimpang karena menyukai seks dengan sesama jenis," tegas Besri.
Dari serangkaian pemeriksaan, terungkap fakta, bahwa korban ROP baru beberapa hari berada di Kota Solok. Sebelumnya, ROP tinggal di Lampung, dan berniat mencari ayahnya di Aie Dingin, Kabupaten Solok. Perkenalan ROP dengan EPS, berawal dari seorang teman via media sosial (Medsos). Dalam hubungannya via Medsos ini, ROP sering curhat. EPS awalnya akan membantu dirinya mencari ayahnya. ROP selama di Lampung tinggal bersama kakak tirinya. Ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Taiwan. Kedua orang tuanya telah bercerai (broken home). Saat ini, ayahnya sudah menikah lagi dengan perempuan asal Surian, Kabupaten Solok. Kondisi ini, membuat ROP tidak terperhatikan dan putus sekolah.
Walinagari Aie Dingin, Patrizal, Kamis (5/3/2020), menyebutkan bahwa korban ROP, sudah diantar pegawai Dinas Sosial Kabupaten Solok ke rumah orang tua ayahnya di Nagari Aie Dingin.
"Sebenarnya korban ROP merupakan warga Lampung. Namun karena ayahnya berasal dari Aie Dingin. Korban bermaksud mencari orang tuanya di Aie Dingin dan mereka berdua pergi ke Aie Dingin bersama pelaku. ROP merupakan korban dari perceraian orang tuanya. Ibunya menjadi TKW di Singapura, sementara ayahnya sudah menikah lagi di Surian," ungkapnya.
Arist Merdeka Sirait Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia |
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, menyatakan kasus ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan secara khusus. Arist menyatakan tindakan pelaku merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Oleh sebab itu, penanganan dan penegakan hukum atas kasus pedofilia yang dilakukan oleh pelaku harus juga dilakukan secara cepat dan luar biasa.
"Sesuai dengan Ketentuan UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penerapan Perpu Nomor 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, oelaku terancam pidana minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun. Bahkan dapat dikenai hukuman tambahan berupa kebiri dan pemasangan chip dalam tubuh terpidana," ujarnya.
Arist Merdeka Sirait juga mengingatkan, peristiwa ini, bagi korban ROP dapat dipastikan mengalami trauma dan hidup dalam kecemasan. Karena itu, menurutnya korban harus ditempatkan sebagai korban. Sehingga mendapat pelayanan pemulihan trauma yang baik dan berkesinambungan. Di samping itu, ROP juga harus mendapat layanan reintegrasi sosial salam keluarga. Atau dipertemukan dan atau disatukan kembali pada keluarganya.
"Pemerintah Kabupaten Solok khususnya Dinas Sosial Solok memberikan atensi khusus pada kasus ini. Sebab Anak dalam kondisi apapun berhak mendapat perlindungan dari masyarakat, negara dan pemerintah," ungkapnya. (PN-001)
Post a Comment