Pokir dan Janji Kampanye Para Legislator yang di Luar Nalar
Anggota DPRD menebar janji di saat kampanye agar dirinya terpilih di Pileg. Mulai dari bedah rumah, beasiswa, pengobatan gratis, modal usaha, hingga janji proyek jika terpilih. Ada yang masuk akal, ada pula yang di luar nalar. Ketika janji tinggal janji, dana pokok pikiran (Pokir) menjadi andalan "penutup mulut" konstituen, saat gaji pokok yanh besar sudah "tergadai" pinjaman bank.
Status sebagai anggota dewan membuat jalan hidup para politikus berubah. Dengan status wakil rakyat terhormat, sebagian legislator mengidap amnesia akut (tiba-tiba lupa ingatan). Janji-janji yang ditebar semasa kampanye, tereduksi secara alami oleh "layanan" kelas satu sebagai anggota dewan.
Dalam konsep trias politika demokrasi, legislatif bersanding setara dengan eksekutif (pemerintah) dan diawasi oleh yudikatif. Di luar itu, ada peran pers yang dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Sesuai tugas dan fungsinya, legislatif memiliki tiga peran. Yakni legislasi (pembentukan peraturan daerah), penganggaran (budgeting) dan pengawasan (control).
Di samping itu, Anggota DPRD juga diberi "sejata" untuk posisi tawar (bargaining) berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD memiliki hak mengajukan rancangan peraturan daerah, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, mengikuti orientasi dan pendalaman tugas, protokoler, serta keuangan dan administratif.
Meski dengan besaran gaji yang terbilang sangat besar, ditambah fasilitas, kewenangan dan hak yang melekat di dirinya, ternyata banyak "celah" pemasukan tambahan bagi setiap legislator. Sebagai pihak yang membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), para legislator juga kecipratan "kue" pembangunan dari APBD. Salah satunya adalah alokasi dana pokok pikiran (Pokir). Jumlahnya, cukup fantastis. Di satu daerah setiap Anggota DPRD mendapat "jatah" hingga Rp1,5 miliar setiap tahun. Bisa dihitung, jika di satu daerah ada 35 anggota dewan, anggaran daerah yang disedot untuk alokasi dana Pokir mencapai Rp52,5 miliar.
Sejatinya, dengan gaji yang terbilang besar, ditambah pemasukan tambahan lainnya, para anggota dewan dengan fasilitas yang melekat di dirinya, bisa menuntaskan janji-janjinya di masa kampanye sebelumnya. Namun, dengan janji yang di luar nalar, terkadang hal itu tidak dapat dipenuhi. Akibatnya, alokasi dana Pokir menjadi salah satu cara menutup "celoteh" konstituen.
Pokok pikiran (Pokir) merupakan hasil penyerapan aspirasi masyarakat saat kegiatas reses anggota DPRD ke masyarakat. Pokir kemudian diusulkan atau disarankan ke pemerintah daerah untuk menjadi salah satu elemen penyusunan APBD. Namun, dalam praktiknya, Pokir DPRD seakan menjadi hak eksklusif anggota DPRD, melakukan "transaksi" dengan pemerintah dengan "kilah" memperjuangkan aspirasi masyarakat. Yakni dari sekadar usul atau saran, menjadi "penguasaan" proyek Pokir, sejak hulu hingga hilir proyek.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga representasi rakyat. Tugas anggota DPRD adalah memperjuangkan, menampung/mengakomodir aspirasi rakyat untuk ditindaklanjuti pemerintah daerah. DPRD merupakan terminal multipartai politik yang terpilih melalui mekanisme pemilihan legislatif. Parpol memiliki wakil di parlemen serta mempunyai visi dan misi yang sama yaitu memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Salah satu kewajiban anggota DPRD adalah melakukan Reses. Istilah reses anggota DPRD dikenal sejak tahun 2004, yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Tata Tertib Dewan di BAB IX mengenai Persidangan dan Rapat, pada pasal 55. Ayat (1) Tahun Persidangan DPRD dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember, dan dibagi dalam tiga masa persidangan. Ayat (2), Masa Persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. (3) Reses dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun paling lama enam hari kerja dalam satu kali reses. (4) Reses dipergunakan untuk mengunjungi daerah pemilihan anggota yang bersangkutan dan menyerap aspirasi masyarakat. (5) Setiap melaksanakan tugas reses sebagaimana dimaksud pada ayat (4), anggota DPRD secara perseorangan atau kelompok wajib membuat laporan tertulis atas pelaksanaan tugasnya yang disampaikan kepada Pimpinan DPRD dalam Rapat Paripurna. (6) Kegiatan dan jadwal acara reses sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh Pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan Panitia Musyawarah.
Reses adalah komunikasi anggota DPRD dengan konstituen di daerah pemilihan masing-masing secara rutin sebelum berakhirnya masa sidang dan dilakukan secara berkala. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 161 huruf I, j dan k, disebutkan anggota DPRD mempunyai beberapa kewajiban, misalnya menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Kewajiban tersebut dilaksanakan oleh anggota DPRD untuk mengunjungi masyarakat di daerah pemilihan masing-masing.
Kegiatan reses anggota DPRD merupakan sebuah forum pertemuan di Dapil masing-masing antara masyarakat dan anggota DPRD. Mereka berinteraksi melalui dialog dalam rangka menyampaikan aspirasinya. Anggota DPRD wajib menyerap, menampung dan menidaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan adanya reses masyarakat dapat menyampaikan kebutuhan yang belum diakomodir di tingkat Musrenbang. Terkadang, keluhan masyarakat yang mengikuti Musrenbang sering muncul alasan klasik minimnya anggaran Pemda. Sehingga, usulan masyarakat tidak bisa diakomudir, walaupun usulan itu menurut masyarakat sangat prioritas. Di sinilah pentingnya peran anggota DPRD melakukan reses dalam menyerap pokok pikiran yang berkembang di masyarakat agar bisa ditindaklanjuti kebutuhan masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh anggota DPRD terhadap pokok pikiran dalam memperjuangkan aspirasi rakyat itu, juga diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang tata Cara Perencanaan Pembangunan, didalam pasal 78 huruf (i) di dalam perencanaan awal melalui Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu tentang proses penelaaahan pokok pikiran DPRD. Pokok Pikiran tersebut berdasarkan hasil reses anggota DPRD, dan akan disampaikan secara formal kepada Kepala daerah untuk dijadikan bahan pertimbangan apakah yang diajukan oleh anggota dewan itu sudah termuat dalam rencana kerja pemerintah darah atau tidak. Apakah yang diusulkan itu bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Semuanya akan dikaji oleh tim anggaran pemerintah daerah (TAPD), mulai dari RAPBD, yang mengacu pada RPMJ, RKPD, KUA dan PPAS.
Pokok pikiran yang menjadi amanat peraturan perundang-undangan adalah merupakan legal formal yang sah. Sehingga DPRD memiliki legal standing untuk mengusulkan dana Pokir. Dan pokok pikiran yang diajukan oleh anggota DPRD tentu saja tidak serta merta akan langsung diterima oleh kepala daerah, tetapi akan disesuaikan dan diselaraskan dengan prioritas pembangunan, sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Dana Pokir wajib dikawal dan dilkasanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan DPRD sebagai lembaga repsentasi rakyat dapat bekerja sesuai dengan Tupoksinya berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Tapi, harus diingat, bahwa DPRD sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya tidak akan ikut campur dalam realisasi program (proyek) Pokir. Tapi berwenang mengawal, agar program pokok pikiran dapat terlaksana sesuai dengan harapan masyarakat.
Jika DPRD terus mengawal dana pikiran rakyat dan masyarakat sendiri juga ikut mengawasi jalannya program tersebut, maka semua anggota DPRD akan diapreasiasi oleh stakeholder sebagai wakil rakyat. Di sisi lain, sudah banyak kasus yang ditangani oleh lembaga penegak hukum, terkait anggota dewan yang campur tangan "terlalu dalam" dengan dana Pokir ini. Di antaranya, dana Pokir DRPD Garut 2014-2019. Tentu, kasus ini menjadi salah satu contoh kecil, yang diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi anggota DPRD di berbagai daerah.
Khusus untuk Pokir, Anggota DPRD bukan "pemilik" program Pokir karena sebagai pihak yangan mengajukan usul atau saran. Pelaksanaan atau realisasi Pokir, tetap berada di pemerintah daerah di OPD terkait. Serta, pertanggungjawaban program Pokir berada di OPD pemerintah, bukan di DPRD atau Anggota DPRD.
Bagi pemerintah dan OPD terkait, harus bekerja tegak lurus. Karena pertanggungjawaban dan jika terjadi penyelewengan, adalah risiko besar bagi mereka. Bagi aparat penegak hukum, tujuan penegakan hukum adalah untuk wujud tugas negara memberikan hak rakyat untuk kesejahteraan. Karenanya, jangan segan turun tangan mengusut tuntas jika terjadi penyelewengan. (rijal islamy)
Sumber: detik.com, kompas.com, joglosemarnews.com, kahaba.net, Jurnal Law Refrom Volume 14 Tahun, Nomor 2, 2018.
Post a Comment