Dendi: Bupati Bukan Penguasa Tunggal, Kabupaten Solok Bukan Kerajaan
SOLOK - Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Kabupaten Solok Dr. Dendi, S.Ag, MA, mengingatkan Bupati Solok Capt Epyardi Asda, M.Mar, bahwa Bupati bukanlah penguasa tunggal di daerah. Dia meminta Epyardi bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang berlaku."Fraksi PPP mengingatkan Bupati bukanlah penguasa Kabupaten Solok, tapi kepala daerah. Karena ini bukanlah negara kerajaan. Saudara, tolong mengatur daerah ini sesuai perundang-undangan, jangan semaunya saja,” kata Dendi dalam pandangan fraksi Nota Pengantar Bupati Solok tentang Ranperda Pertanggungjawaban APBD Tahun Anggaran 2020, pekan lalu.
F-PPP juga memberikan catatan-catatan lain untuk Bupati yang baru memimpin Kabupaten Solok beberapa bulan terakhir ini. Katanya, Fraksi PPP mengingatkan kepada Bupati, Pokok Pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak ada alasan untuk dipindahkan.
"Kecuali dengan alasan refocusing anggaran, tidak bisa dialihkan kepada yang lain. Kalau recofusing kita bisa terima, tapi dialihkan kepada yang lain kita tidak bisa terima," katanya.
Dendi melanjutkan, revisi anggaran dan refocusing adalah amanat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 208/2020, masalah revisi anggaran mesti dibahas antara badan Banggar dengan OPD. "Kami juga mempertanyakan mengenai 1.700 THL (tenaga harian lepas) yang diberhentikan. Padahal waktu kampanye, Bupati menyatakan akan meningkatkan kesejahteraan tenaga honor, sekarang malah diberhentikan," katanya.
Dendi juga mempertanyakan pembagian zakat yang diserahkan oleh Bupati di kediamannya. Padahal, zakat berasal dari dana Baznas Kabupaten Solok. "Fraksi PPP Mengusulkan kepada Proyekda 2022, untuk merancang ke dalam Ranperda tentang pemekaran nagari. Karna ini menguntungkan," katanya.
Sidang DPRD berikutnya, dijadwalkan mendengarkan jawaban pemerintah, terhadap pandangan umum dari fraksi-fraksi.
Syamsu Rahim: Bupati Bukan Raja
Sebelumnya, Bupati Solok periode 2010-2015, Drs. Syamsu Rahim, mengaku sangat miris dengan eskalasi politik di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, saat ini. Sejumlah intrik, manuver dan kebijakan yang diambil para pelaku politik saat ini, menurutnya telah membuat kegaduhan politik di masyarakat. Mantan Ketua DPRD Kota Sawahlunto dan Walikota Solok periode 2005-2010, mengkhawatirkan akan terjadi chaos, jika masing-masing pihak tidak segera menarik ego politiknya masing-masing.
"Bupati Solok bukan raja dan masyarakat Kabupaten Solok bukan pelayannya. Seharusnya, bupati adalah pelayan rakyat yang tahu kebutuhan rakyatnya. DPRD adalah perwakilan rakyat di parlemen, yang memiliki fungsi kontrol, anggaran dan legislasi. Semuanya sudah punya Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing. Jika semua pihak terus memperturutkan ego, masyarakat bisa menjadi tidak percaya ke pemerintahan. Jika kegaduhan politik di tingkat elit ini terus berlanjut, akan terjadi chaos di masyarakat," ungkapnya.
Sebagai warga Kabupaten Solok, Syamsu Rahim mengingatkan, bahwa Pilkada Kabupaten Solok sudah selesai. Ibarat pepatah "biduak lalu, kiambang batawik", semua elemen harus kembali berkolaborasi. Menurutnya, saat ini Bupati/Wakil Bupati Solok harus merangkul semua pihak, dan memberdayakan seluruh elemen di masyarakat. Jangan sampai sebaliknya, yakni memberi tekanan kepada seluruh orang yang dinilai tidak sejalan saat Pilkada dulu.
"Rangkul semua pihak. Pemerintahan harus memaafkan semua orang. Bupati adalah bupati semua orang, bukan bupati sebagian orang. Jangan hanya mengegas pegawai, rakyat, ataupun mantan pejabat. Pilkada sudah usai, seluruh pihak dan seluruh elemen masyarakat menginginkan stabilitas dan kesejukan. Berdayakan semua potensi. Tidak ada Superman dan Super Team jangan hanya jadi jargon tanpa aplikasi nyata," ungkapnya.
Syamsu Rahim juga meminta insan pers di Kabupaten Solok untuk mengawal dan memberi masukan terhadap jalannya pemerintahan. Menurutnya, sebagai pilar keempat demokrasi, para insan pers harus memberikan fungsi pendidikan politik dan menjalankan fungsi sosial kontrol. Para tokoh menurut Syamsu Rahim juga harus bersuara. Baik tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, maupun tokoh politik. Jangan hanya karena kepentingan pribadi, justru mengesampingkan kepentingan daerah yang nilainya jauh lebih besar.
"Insan pers harus bersuara. Tidak hanya sekadar menjalankan fungsi sosial kontrol dan pendidikan politik. Tapi, juga bukti tanggung jawab moral dan rasa sayang ke daerah. Jangan berhenti mengkritik, karena kritik adalah bukti cinta ke daerah. Pemerintah maupun DPRD, jangan sekali-kali menilai kritik sebagai wujud rasa benci atau tidak senang pada pemerintahan," tegasnya. (*/PN-001)
Sumber: radarrakyat, patronnews
Post a Comment