Membongkar Perseteruan Bupati Versus Ketua DPRD Kabupaten Solok
PADANG - Perseteruan Bupati Solok Capt. Epyardi Asda, M.Mar dengan Ketua DPRD Kabupaten Solok Dodi Hendra semakin meruncing dan meluas ke berbagai sisi. Tidak hanya lagi sekadar hubungan eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPRD), tapi meluas ke berbagai masalah lain, termasuk ke ranah pidana pribadi masing-masing, bahkan mulai "menyentuh" institusi lain. Hal itu dibahas dalam Dialog Padang TV, Jumat (6/8/2021).Hadir dalam dialog itu, Bupati Solok periode 2010-2015 Syamsu Rahim, Sekretaris DPD Partai Gerindra Sumbar Evi Yandri Rajo Budiman, Pengamat Hukum Tata Negara Charles Simabura, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Riswanto Bakhtiar, Praktisi Hukum Vino Oktavia, dan Direktur Sumbar Leadership Forum dan Research Edo Andrefson.
Menurut Syamsu Rahim, bagi yang paham regulasi dan aturan penyelenggaraan pemerintahan, ini menjadi sesuatu yang asing. Tapi, bagi yang awam dengan regulasi dan aturan penyelenggaraan pemerintahan, ini mungkin menjadi sebuah hiburan.
Menurutnya, fenomena ini merupakan cara pemahaman terhadap regulasi fungsi, hak dan kewajiban masing-masing institusi. Kemudian, kemampuan menahan diri dan menghargai eksistensi institusi lain. Menurutnya, masyarakat bingung dengan apa yang terjadi di pemerintahan Kabupaten Solok. Syamsu Rahim juga mengatakan, penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah (eksekutif) dan DPRD (legislatif). Pemerintah dipimpin oleh seorang Bupati, walikota atau gubernur. Sementara DPRD dipimpin oleh seorang Ketua DPRD yang bersifat kolektif kolegial.
"Ketika mereka bisa memahami Tupoksi, hak dan kewajiban, maka tidak akan terjadi benturan. Segalanya sudah ada mal dan aturannya, tinggal bagaimana cara bermitra. Karena sifatnya bermitra, maka tidak ada istilah lebih tinggi atau lebih rendah. Bupati tidak lebih tinggi dari DPRD, demikian juga sebaliknya.
Sebagai yang bermitra, maka harus saling menghargai eksistensi yang lain. Saat ini, kedua institusi ingin memperlihatkan power dan kewenangan masing-masing. Kadang-kadang di luar aturan," ujarnya.
Sebagai warga Kabupaten Solok dan pernah memimpin Kabupaten Solok, Syamsu Rahim mengaku sangat prihatin. "Saya selalu menyampaikan ke kedua belah pihak melalui tim-timnya, bahwa masyarakat menunggu. Apa itu visi Mambangkik Batang Tarandam. Apa yang tarandam sebenarnya, moral dan etika. Yakni moral dan etika masyarakat, pemerintahan dan tokoh masyarakat. Bicara penyelenggaraan pemerintahan, ibarat rumah tangga. Ada bapak, ibu, anak, cucu dan yang lainnya. Bapak rumah tangga itu kepala daerah, ibu rumah tangga adalah DPRD. Bagaimana bisa harmonis jika tidak sejalan. Saya berharap, jika sesat di ujung jalan, maka harus kembali ke pangkal jalan. Belum terlambat," ungkapnya.
Syamsu Rahim menegaskan, jabatan Bupati bukan lagi sebagai penguasa, bukan raja, tapi adalah pelayan masyarakat. Yang jadi raja itu adalah rakyat. Menurutnya, jika Bupati merasa sebagai penguasa, sama dengan orde baru. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan sudah berubah. Reformasi membuat semuanya transparan dan terbuka.
"Dua-duanya tidak berbasis pemerintahan. Tidak berlatar belakang hukum dan administrasi. Inti administrasi adalah organisasi, inti organisasi adalah kerja sama dan inti kerja human relationship. Ketika hubungan kemanusiaan harus saling menghargai. Tidak ada mediator dan tidak mau dimediasi. Karena tidak mau menerima masukan orang lain. Dua-duanya sama," ungkapnya.
Walikota Solok periode 2005-2010 itu, berharap kejadian di Kabupaten Solok, jangan sampai terjadi seperti di Payakumbuh. Yakni saat Darlis Ilyas jadi Walikota dan Chin Star jadi Ketua DPRD Payakumbuh. APBD tidak disahkan dua tahun. Yang rugi masyarakat, bukan pribadi mereka.
"Kita adalah orang Minang yang beretika. Jalankan etika pemerintahan, implementasikan norma dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku. Ketika kesadaran terhadap kekeliruan dari Bupati dan Ketua DPRD tidak ada, maka akan semakin hari semakin panas. Tentu ini tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Contoh, penggembokan Rumah Dinas Ketua DPRD, ada berbagai kemungkinan. Tentu ada yang menyuruh, bahkan bisa juga ini sandiwara Ketua DPRD," ujarnya.
Sementara itu, Vino Oktavia meminya semua pohak untuk segera mencari solusi terbaik mengakhiri polemik. Menurutnya, kisruh antara Bupati dan Ketua DPRD dan kisruh internal DPRD. Kemudian lapor melapor. Lalu, hal ino berdampak pada pengambilan keputusan di DPRD, pembangunan dan pengelolaan keuangan daerah. Karena itu, harus diselesaikan di DPP PAN dan Gerindra. Tak mungkin diselesaikan di daerah.
"Mosi tak percaya adalah gerakan politik. Diselesaikan di BK. Berdampak pada eksistensi Ketua DPRD. Bahkan keluar dua SPT, dan dda Perbup merevisi kepemimpinan dan persuratan di DPRD. Hal ini kemudian melahirkan dampak kebijakan terhadap pengambilan keputusan," ujarnya.
Direktur SBLF Edo Andrefson menilai hal ini dalam perspektif pribadi, adalah konflik Ketua DPRD dan Bupati, secara personal. Sementara antara Bupati dan anggota DPRD adem ayem saja. Menurutnya, masalah ini meruncing saat Ketua DPD Gerindra Andre Rosiade membahas keberadaan PT Kaluku Maritima Utama di Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI. Usaha yang dirintis di Tanjung Priok diganggu, membuat persoalan meruncing. Karena itu, pihak luar jangan mengompori. Karena PAN dan Gerindra yang mengusung Epyardi Asda dan Jon Firman Pandu
"A kata Epyardi, harus A di DPP PAN.
Jangan bicara hal yang beliau bangun dan rintis. Bisa jadi masalah besar.
Gerakan politik oleh Dodi Hendra tidak akan bisa sampai membawa gerbong sendiri. Gerbong siapa yang mau dibawa. Dari 35 anggota DPRD, 27 berada di kubu Epyardi. Jika Gerindra kemarin tidak menarik diri, sudah selesai itu. Lapor ke BK, diproses, ujungnya adalah pergantian Ketua DPRD," ungkap Edo.
Dari sudut Bupati, persoalan Dodi dan Epyardi menurut Edo bisa selesai, jika tidak dibumbui oleh persoalan-persoalan di luar konteks pemerintahan. Edo menekankan, jangan merecoki bisnis Epyardi. Bisnis yang dibangun lama, dituduh macam-macam. Kalau ada bukti silakan. Tapi ini menurutnya hanya tuduhan dan dugaan. Yakni memenangkan sebuah tender bongkar muat di Tanjung priok, yang tak ada dasarnya, dibahas didepan orang banyak di RDP DPR RI.
"Video itu dipotong dan di-blow up oleh media dan sengaja dibumbui. Andre Rosiade tidak meredam masalah ini. Membiarkan menjadi bola liar yang tak akan diselesaikan. Mosi tal percaya merupakan masalah internal. Ketua DPRD Dodi Hendra memaksakan banyak hal. Mosi tidak ada kaitan dengan Kaluku. Masalah membesar setelah Andre membukanya di DPR RI. Bupati tidak mungkin menyetel anggota DPRD. Ketua DPRD bukan segala-galanya. Ketua DPRD tidak bisa menyetel banyak hal, seperti proyek di rumah dinas DPRD. Bupati Epyardi welcome dengan informasi dari manapun," ujarnya.
Pengamat kebijakan publik Riswanto Bahtiar menyatakan, mosi tidak percaya muncul dari dalam dan tidak ada intervensi. Menurutnya hal ini karena Anggota DPRD merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan Ketua Dodi Hendra.
"Pernyataan Andre memicu konflik lebih besar. Konflik semakin kacau. Keberadaan Jon Firman Pandu sebagai Ketua DPC Gerindra juga patut dipertanyakan," ungkapnya.
Pakar Hukum Tata Negara Charles Simabura mengingatkan, sebuah Perbup tidak bisa mengatur internal DPRD. Menurutnya, DPRD pasti diatur dengan Tatib. Jika diatur Perbup, itu hal yang konyol. Putra Nagari Sulit Air Solok itu juga menilai hal ini adalah masalah pribadi yang menjadi konsumsi publik. Pelaporan, pidana, pribadi. Masalah Pelindo juga pribadi. Bukan persoalan institusional.
"Mosi tidak percaya, tidak ada ketentuan hukumnya. Itu gerakan politik. Jika tidak percaya dengan Ketua DPRD, ada ketentuannya, ada mekanisme hukum dengan membawanya ke Badan Kehormatana (BK) DPRD. Apakah dianggap arogan itu sanksi beratnya adalah pemberhentian, itu tugas BK. Jangan biarkan Mosi tidak selesai. Jangan wacana politik saja. Beri kesempatan membela diri. Jika sanksinya patut diberhentikan, ya diberhentikan. Mungkin bisa diberi sanksi SP 1, SP2, dll. Tapi kalau persoalan pidana, laporkan. Kalau tak terbukti, rehabilitasi," tegasnya.
Charles Simabura juga menegaskan, hal jangan dibiarkan berlarut-larut dan membuat kedua pihak tersandera.
"Misalnya tentang pemotongan anggaran yang dikadukan ke Polda Sumbar. Ini tuduhan serius, yakni tuduhan korupsi dan menyeret nama institusi lain," ungkapnya.
Syamsu Rahim menilai, mosi tak percaya yang pertama adalah murni, setelah intervensi, tidak lagi murni. Menurutnya, alat kelengkapan DPRD tidak berfungsi sama sekali. Ketika terjadi masalah, tidak diselesaikan. Termasuk ketua-ketua partai yang tak juga menyelesaikan. Menurut Syamsu Rahim uang juga pernah menjbat Ketua DPRD di Sawahlunto, Dodi Hendra tidak menyiapkan dirinya sebagai pimpinan. Karena itu, solusinya, intervensi dari partai pengusung. Jangan biarkan ego semakin tinggi, tensi makin panas.
"Keduanya punya tipe maju tak gentar. Dodi Hendra tidak memahami karakter Epyardi, sebaliknya, Epyardi memandang Dodi sebagai orang yang perlu dibina. Karena baru masuk. Human relationship hilang. Siapapun yang menjadi mediator, jika keduanya tidak bisa memenej diri masing-masing, maka tidak mungkin. Karena itu, harus muncul wakil pemerintah pusat di daerah, yaitu Gubernur Sumbat Mahyeldi. Masalah sudah berkeliaran, membuat malu Sumbar, tapi mengapa diam saja dan dibiarkan seperti ini. Pak Gubernur turunlah menyelesaikan masalah ini," ujarnya.
Sementara itu, Evi Yandri Rajo Budiman memaparkan kronologis terjadinya mosi tak percaya dari sejumlah Anggota DPRD Kabupaten Solok ke Dodi Hendra. Menurutnya, sebelum mosi, hari Rabu, ada laporan, di hari Sabtu ketua DPC menyampaikan ada rencana Mosi tak percaya. Hari minggunya dirinya melakukan klarifikasi ke Dodi Hendra, dengan memanggilnya ke Padang.
"Saya pertanyakan tentang otoriter dan tidak kolektif kolegial. Dodi Hendra memberikan penjelasan, menurutny ada hal-hal yang secara regulasi tidak bisa dia setujui. Singkat cerita, Seninnya kita panggil lagi dan kita pertemukan Ketua DPC, Ketua DPRD dan Ketua Fraksi. Kesimpulan, saya minta Ketua Fraksi untuk melobi fraksi lain agar mosi ini tidak terjadi. Dodi Hendra saya minta secara pribadi temui Epyardi Asda. Saya minta dia soft. Setelah beberapa kali dicoba, Epyardi Asda tidak memberi ruang. Lalu kita instruksikan wakil bupati untuk memfasilitasi pertemuan Epyardi dan Dodi Hendra," ujarnya.
Tapi, menurut Evi Yandri, di hari Rabu, mosi tidak percaya itu justru dinaikkan. Waktu itu Evi Yandri mengaku sedang berada di Pasaman, dan mosi tidak percaya naik sekitar jam 3 siang. Kemudian dirinya melakukan konfirmasi ke Ketua Fraksi Gerindra Hafni Havis, mengapa mosi berlanjut. Jawabnya, pertama, untuk menjaga harmonisasi Bupati dan Wakil Bupati. Kedua, kawan-kawan fraksi Gerindra, ikut karena ada kekhawatiran, tidak akan diakomodir pokok-pokok pikiran (pokir) mereka.
"Dengan dua alasan itu, akhirnya saya pertimbangkan dan koordinasi dengan ketua DPD, akhirnya diputuskan bahwa kepentingan partai di atas segala-galanya. Di atas harmonisasi, di atas Pokir. Jika kader kita ikut, padahal notabene Dodi Hendra adalah kader, kalau juga ikut dalam upaya menggulingkan, tentu harga diri Gerindra di sana. Makanya, sorenya saya ultimatum, ketua Fraksi dan Ketua DPC, mosi harus dicabut," ungkapnya.
Evi Yandri juga mengatakan, sebelumnya juga banyak kejadian. Jadi tidak bisa dilepaskan dari kejadian, karena Dodi Hendra adalah kader. Evi Yandri juga menegaskan, Gerindra tidak pernah mengatakan Ketua DPRD arogan. Karena adanya janji-janji dan intervensi, tidak akan diakomodir Pokir. Kenyataannya sampai sekarang belum terakomodasi Pokir ini dengan alasan mekanisme.
"Saat saya tanya Ketua DPC mengapa tidak memfasilitasi Dodi Hendra dan Epyardi, jawaban Jon F Pandu, Epyardi tidak mau bertemu. Bahkan mengatakan, Ketua DPRD itu jangan Dodi Hendra lagi. Ini jawaban Epyardi yang saya dapatkan dari Ketua DPC Jon Pandu. Ini tentu tidak etis. Ketua DPRD itu adalah hak Gerindra. Kita partai pemenang di Kabupaten Solok. Tidak boleh partai lain yang mengatur, siapa yang ditunjuk Gerindra untuk jadi Ketua DPRD.
Persoalan Dodi Hendra tidak menyetujui adanya usulan pengadaan ekskavator oleh Pemkab, dan hal-hal lain yang membuat kedua pihak saling tersinggung," ungkapnya.
Evi Yandri juga mengatakan, statemen Ketua DPD Gerindra Sumbar, Andre Rosiade, tentu punya dasar, alibi dan pertimbangan.
"Kita sudah soft. Kita sudah perintahkan kader kita mundur selangkah. Seperti perintah kepada Dodi Hendra untuk menemui secara pribadi. Karena Ketua DPRD tugasnya adalah mengawasi Bupati, memanggil Bupati, bukan datang ke Bupati. Tapi saya perintahkan Dodi Hendra menemui Bupati. Kita sudah mengalah. Tapi Epyardi justru mengatakan, Ketua DPRD jangan Dodi Hendra. Kalau sudah sejauh itu, artinya sudah mengobok-obok partai Gerindra.
Artinya, mosi tidak percaya ada peran Epyardi, dan saya dapatkan laporan terkait itu," ujarnya.
Anggota DPRD Sumbar itu juga mengatakan ada dua kader Gerindra Kabupaten Solok yang coba bermain di persoalan ini.
"Saya pastikan dua orang ini akan diberi sanksi. Keduanya sudah kita ajukan ke mahkamah partai. Nanti pasti akan ada sanksinya, tergantung hasil mahkamah partai," tegasnya.
Riswanto Bahtiar mengatakan, bupati sah-sah saja bermanuver di DPRD dan lobi-lobi partai. Tapi, kalau ingin campur tangan ke partai lain, itu tidak boleh, tidak etis dan tidak benar.
"Itu rumah orang, lalu kita obok-obok, bagaimana perasaan orang. DPRD adalah kumpulan partai politik, jadi lobi-lobi untuk visi misi Bupati harus gol, maka dibutuhkan lobi-lobi. Saat ini, sudah masuk ranah intervensi," ungkapnya.
Riswanro juga mengatakan serapan APBD Kabupaten Solok saat ini baru 30 persen, dan 22 persen adalah belanja, di semester pertama. Kondisi masyarakat, karen pandemi sudah sangat kasihan. Secara sosial ini menurutnya akan sangat mempengaruhi. Apalagi, di Minangkabau ada budaya harus saling menghargai. Akibat dari konflik ini, semuanya berubah. Membuat semua pihak saling mencurigai. Menurutnnya, ini tidak baik dan contoh tidak baik dari elit politik kepada seluruh elemen masyarakat.
"Partai Gerindra telah menegaskan tidak akan mengganti Dodi, sementara, Epyardi Asda mengatakan tidak ingin Dodi. Kasihan masyarakat.
Dodi Hendra dipilih masyarakat, Epyardi dipilih masyarakat. Suara rakyat suara Tuhan, jika masyarakat sudah mengeluh berarti Tuhan sudah mengeluh. Marilah merefleksi diri, bahwa semuanya maju untuk kesejahteraan rakyat bukan kepentingan pribadi," ungkapnya.
Edo Andrefson kemudian menyoroti mosi tak percaya yang menurutnya tak jelas prosesnya. Sudah dilayangkan, ditandatangani 27 orang, lalu Gerindra tarik diri. Apakah sudah diproses BK. Sudah jalan tiga bulan, tapi belum juga ada penyelesaian.
"Statemen Andre Rosiade, kalau partai orang diganggu, wajar kita bereaksi. Epyardi juga bilang begitu, masalah pribadi saya, usaha saya mengapa juga diganggu. Apa hubungannya RDP itu bahas bongkar muat. Jadi saling mengunci dan saling menyandera," ungkapnya.
Charles Simabura kemudian mengingatkan jika tanggal 22 Agustus 2021 ini, RPJMD tidak disahkan, siap-siap dapat sanksi, yakni tidak terima gaji 6 bulan.
"Tidak bisa ketok palu di Wakil Ketua, karena ada nanti harmonisasi dari Gubernur. RPJMD itu, versi siapapun, akan dievaluasi dan disinkronisasi, tentu gubernur akan melihat dan menilai, versi siapa yang benar. Ini bukan lagi persoalan partai, tapi pemerintahan," ungkapnya.
Vino Oktavia sebagai putra daerah Kabupaten Solok menyatakan lapor melapor masalah pribadi dari dua kubu elit politik ini, kini sudah berkelindan dengan masalah institusi. Contohnya RPJMD, ada dua SPT yang terbit. Yakni di Kantor DPRD yang ditandatangani Dodi Hendra dan di Chinangkiek yang ditandatangani oleh Wakil Ketua Ivoni Munir. Yang jalan, yang di Chinangkiek, karena dihadiri oleh Pemkab Solok.
"Bagaimanapun, Dodi Hendra adalah Ketua DPRD dengan hak dan kewenangan yang melekat padanya. Sepanjang tidak ada pemberhentian. Jika tidak melibatkan Ketua DPRD, bagaimana keabsahan RPJMD, pengambilan keputusan dan penggunaan anggaran.
Sebagai putra Solok, saya juga mempertanyakan, mengapa semua acara dilaksanakan di Chinangkiek. Jika Kabupaten Solok tidak punya fasilitas, tentu bisa dimaklumi. Tapi Kabupaten Solok punya resort di Alahan Panjang. Harusnya Pemkab memperkuat fasilitas yang dimiliki. Jangan ada kesan, karena milik Bupati, acaranya di Chinangkiek.
Jika RPJMD yang disahkan adalah yang dibahas di Chinangkiek, hasilnya tidak akan baik untuk pengambilan kebijakan dan pembangunan Kabupaten Solok," ungkapnya.
Syamsu Rahim juga mengingatkan, masyarakat banyak tidak bisa membedakan antara pribadi dan jabatan. RPJMD, jika hubungan seperti ini, akan terjadi stagnasi. Artinya, janji-janji telah diingkari oleh keduanya. Syamsu Rahim mengatakan, PAN dan Gerindra pintar melobi. Saat kampanye Pilkada Kabupaten Solok 2020 lalu, dirinya dilobi siang malam. Sehingga akhirnya dirinya berbalik arah mendukung Asda-Pandu dari sebelumnya mendukung Nofi Candra-Yulfadri Nurdin. Tapi, sekarang Asda-Pandu dan orang-orang yang melobi itu, seperti Itu kacang lupa kulit.
"Konstelasi Kabupaten Solok, dikendalikan oleh orang-orang yang tak paham pemerintahan. Karena tak bisa diselesaikan di bawah, Gubernur harus turun menyelesaikan. Parpol juga harus berperan, tidak sektarian. Kabarnya, NasDem mendukung Epyardi, sehingga PPP dan Dendi akan tinggal sendirian," ujarnya.
Terkait solusi, Evi Yandri mengatakan, kunci penyelesaian mslaah kini di Epyardi Asda. Evi Yandri menegaskan, kalau Gerindra diajak fight, maka siap fight. Kalau diajak duduk semeja, pihaknya juga siap duduk semeja.
"Sebulan lalu sudah ada pertemuan kita dengan DPW PAN di Batusangkar. Setelah berdialog, kami mengajukan tiga persyaratan. Pertama, cabut Mosi tak percaya. Kedua, Epyardi harus minta maaf ke Partai Gerindra. Ketiga, PAN dan Gerindra sebagai pendukung, harus duduk semeja kembali. Kita pastikan PAN dan Gerindra menjadi motor mendukung pemerintahan di Kabupaten Solok," ujarnya.
Eci Yandri juga mengatakan pihaknya sudah meyakinkan itu ke PAN. Menurutnya, di Gerindra terlatih untuk taat hal itu. Seminggu setelah itu, pihaknya kembali bertemu dengan DPW PAN Sumbar.
"Saya kembali menanyakan hal itu. Langkah selanjutnya apa? Lalu mencabut laporan-laporan baik di Polres maupun di tempat lain. Justru yang terjadi, ada upaya mendatangkan orang lain yang memiliki keterkaitan dengan Dodi Hendra. Artinya tidak itikad baik. Padahal kami sudah soft. Jangan ada upaya di belakang layar. Jika ada keterkaitan kader-kader Gerindra, kita akan tindak. Sikap secara partai, kita akan utamakan kepentingan masyarakat. Pembangunan dan pemerintahan tak jalan. Kuncinya Epyardi Asda. Kalau ajak fight, ayo. Kalau ditawar, kita jual," tegasnya.
Terkait statemen Andre Rosiade, yang menyatakan partai Gerindra diobok-obok, Evi Yandri menyatakan Epyardi boleh-boleh saja mengeluarkan statemen politik tidak ada di balik ini semua. Evi Yandri menegaskan, sangat menyayangkan hal ini. Menurutnya, Epyardi sebagai orang yang telah tiga periode di DPR RI, tapi kok bisa seperti ini. Sangat sayang, berniat baik membangun Solok, Mambangkik Batang Tarandam. Menurutnya, Epyardi seharusnya fokus mewujudkan visi misi dan janji-janji, tapi ini sibuk dengan masalah pribadi Dodi Hendra.
"Sekali lagi, kalau Epyardi Asda mengatakan tidak ada masalah dengan Gerindra, itu omong kosong. Kalau dia punya masalah dengan Dodi Hendra, berarti punya masalah dengan Gerindra. Karena Dodi Hendra adalah Ketua DPRD dan kader Gerindra. Tidak bisa dilepaskan itu. Jika tidak ada persoalan hukum, Dodi Hendra tidak akan kita Ganti. Tidak mungkin juga partai lain yang mengatur kita. Si anu yang jadi Ketua DPRD. Tidak usah bicara mengintervensi, mengobok-obok partai kita," tegasnya.
Charles Simabura, mengingatkan, jika keputusan DPRD dilakukan oleh wakil Ketua DPRD, harus memiliki alasan. Menurutnya, harus ada syarat-syarat, kapan Wakil Ketua bisa menggantikan Ketua. Tidak serta saja. Beda pendapat, lalu bikin sidang sendiri, lalu mengambil keputusan. Menurutnya, DPRD punya mekanisme pengambilan keputusan. Sepanjang Ketua tidak dalam kapasitas tidak bisa melaksanakan tugasnya. Kecuali, berhalangan dan mendelegasikan. Seperti sedang dinas luar, atau sakit.
"Konsep kolektif kolegial itu, bukan berarti bisa digantikan kapan saja dan dimana saja. Ketua dan Wakil Ketua DPRD, setara secara status, tapi mekanisme pengambilan keputusan ada prosedurnya. Seperti mengalihkan persidangan saja, mengganti pimpinan sidang, kan tidak serta-merta pimpinan sidang ada. Lalu wakil ketua DPRD tidak setuju dengan cara ketua memimpin sidang, lalu dia ambil palu dan memimpin sidang, tentu tidak bisa seperti itu. Artinya tidak taat hukum. Apalagi sebuah rapat pengambilan keputusan, seperti RPJMD.
Saat ini, Ketua DPRD tidak dalam posisi berhalangan. Baik berhalangan sementara, maupun berhalangan tetap. Apakah terpenuhi kriteria untuk menggantikan kewenangan itu. Harus hati-hati. Karena terkait keabsahan pengambilan keputusan," ungkapnya.
Evi Yandri kemudian menyoroti adanya dua Surat Perintah Tugas (SPT) membahas RPJMD, tapi dia mengingatkan, sebelumnya sudah ada juga kejadian. Misalnya, saat Dodi Hendra memimpin sidang, anggota DPRD yang mengajukan mosi tidak percaya keluar dan tidak mengikuti sidang. Sehingga tidak quorum. Sehingga sidang tidak bisa dilaksanakan. Saat Dodi Hendra keluar, mereka masuk ke dalam dan sidang lanjut.
"Ini sudah premanisme di legislatif," ujarnya.
Charles Simabura menimpali, keabsahan dokumen yang dikeluarkan DPRD akan dilihat dan dinilai. Menurutnya, Gubernur Sumbar jangan seolah-olah tidak tahu. Apakah sudah disetujui bersama, apakah sudah sesuai substansi.
"Gubernur akan melakukan evaluasi formil dan materil. Harusnya Gubernur mengambil inisiatif, sebelum ini sampai," ujarnya.
Riswanto Bahtiar mengharapkan semua pihak kembali ke aturan dan regulasi, serta Tatib. Walaupun ada mosi tidak percaya, yang jelas meminta pergantian Ketua DPRD. Namun, jika ini tidak ada tindak lanjutnya, berarti secara hukum Dodi Hendra adalah Ketua DPRD yang sah. Jika ada polemik yang terjadi, pasti akan menjadi preseden buruk penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Solok.
"Jika ditandatangani oleh wakil ketua, smentara Ketua DPRD sampai hari ini belum diganti, dimana kewenangan Wakil Ketua itu bisa menandatangani surat. Kecuali ada Tatib yang menyatakan jika Ketua DPRD dimosi tak percaya, Ketua DPRD sudah non aktif. Saya yakin tidak ada Tatib seperti itu. RPJMD Kabupaten Solok tidak akan diterima di Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. Karena prosesnya secara formil menyalahi aturan. Jika formil sudah salah, materil juga sudah pasti salah," ungkapnya.
Syamsu Rahim menilai, ibarat penyakit, tensi sudah 200, jika tidak diobati atau diterapi, bisa jadi 220 atau 230. Jika itu terjadi, bisa pecah pembuluh otak, atau stroke.
"Tapi kita tak harus pesimis, karena orang yang pesimis adalah orang yang mati. Optimis harus dilaksanakan secara rasional dan objektif. Masyarakat butuh pembangunan, ketenangan, maka pemerintahan harus berjalan. Maka ego keduanya harus diturunkan. Dodi Hendra hingga saat ini harus diakui sebagai Ketu DPRD, persoalan lain silakan saja berproses. Tapi sepanjang belum inkrah, dia tetap Ketua DPRD. Masih banyak agenda ke depan. Ada RPJMD, pelaksanan APBD 2021, APBD Perubahan, KUA PPAS 2022, kemudian siap-siap juga untuk 2024," ujarnya.
Sebagai warga Kabupaten Solok, Syamsu Rahim meminta pemimpin Kabupaten Solok untuk kembali ke jalan yang benar, turunkan egosentris masing-masing. Hormati institusi dan regulasi. Jika APBD tidak disahkan, maka akan memakai APBD sebelumnya. Program-program pembangunan tidak jalan, karena hanya bisa program rutin saja. Lalu mana visi misi saat kampanye.
"Terkait PTUN terhadap maslah Plh Sekda Edisar, Pemkab Solok telah salah menerjemahkan keputusan PTUN Padang. Yang disepakati di PTUN, mereka itu damai, bukan mengembalikan jabatan. Sifat PLH, karena yang lama pensiun, punya batas-batas tertentu sesuai aturan. Ada yang bisa dilakukan secara administrasi, tapi keputusan tetap di kepala daerah," ungkapnya.
Syamsu Rahim juga mengingatkan, posisi Wakil Bupati Solok Jon Firman Pandu, juga harus ditinjau sebagai pendamping Bupati. Jawaban Jon Pandu yang mengatakan; "Saya tak bisa berbuat apa-apa", dan mengaku pressure (tekanan) terlalu kuat terhadapnya bukan alasan.
"Banyak permasalahan di Kabupaten Solok yang harus dituntaskan. Seperti geothermal, PLTA, Islamic Center, jalan hancur. Itu yang harusnya dipikirkan. Ini, masalah-masalah kecil diurus juga oleh Bupati. Masalah THL, masalah mobil, masalah ini itu. THL memang harus dirasionalisasi, mungkin karena alasan atau kekuatan politik yang memasukkan mereka menjadi THL di Kabupaten Solok, tapi janganlah yang sudah lebih 10 tahun ikut dihabisi," ujarnya.
Terkait mobil dinas yang ditarik, Syamsu Rahim mengatakan, jika alasan revitalisasi aset, tidak ada persoalan. Karena selama ini memang tidak teratur. Penggunaan mobil dinas bebas saja orangnya. Yang tidak PNS juga dapat, kemudian ada yang menumpuk di rumah pejabat. Tapi cepat ambil keputusan, jangan lama-lama.
"Bahkan mobil Camry yang diperuntukkan untuk bupati, justru dipakai oleh yang tidak pegawai negeri. Itu jelas-jelas salah. Kemudian, bupati memakai Lexus. Walaupun pribadi, ada aturan. Bupati dan walikota itu mobilnya 2.400 cc. Kalau gubernur 2.500 cc. Jika dipakai yang 3.000 cc, walaupun salah atau tidak, tetapi regulasi harusnya diikuti aturan. Pribadi silakan pakai Lexus, silakan pakai Alphard, silakan pakai Rubicon. Tapi untuk kepentingan dinas, sudah ada aturannya. Harusnya taat hukum dan aturan," ujarnya.
Terkait mobil ambulans yang ditarik Syamsu Rahim menyatakan itu adalah fasilitas yang diberikan ke anggota dewan dari dana Pokir, dan ditempatkan di nagari. Mungkin dianggap tak adil, karena tidak semua nagari yang dapat. Tapi kalau ditarik, harusnya berbicara dengan anggota dewan yang punya Pokir, supaya tidak timbul stagnasi.
"Tegas perlu, kasar jangan. Untuk disiplin, inventarisasi, evaluasi bagus, tapi harus dengan caranya harus baik," katanya.
Edo Andrefson kemudian mengatakan, Bupati Solok Epyardi Asda harus rasional dan efektif dalam bersikap.
"Jabatan beliau memang jabatan politik, tapi tak semua bisa dipolitisasi," ujarnya.
Charles Simabura, kemudian Kepala daerah itu, ada mitranya, yakni DPRD. Menurutnya, Gamawan Fauzi sebagai arsitek UU 23 tahun 2014, telah memberikan solusi, karena sebelumnya DPRD itu sering berkelahi dengan pemerintah.
"Upaya Epyardi Asda baik, tapi caranya harus baik. Di Minangkabau ini, cara itu penting. Sebaik apapun niat, tapi kalau caranya tidak bagus, secara hukum pun juga cacat," ujarnya.
Charles juga mengatakan, bukannya bupati tidak boleh memutasi. Enam bulan setelah dilantik, bukan berarti setelah enam bulan langsung diganti. Enam bulan itu artinya, supaya ada asesmen yang objektif, dipetakan dulu, tapi bukan dipetakan sebelum Pilkada, ini orang bupati, ini bukan. Banyak kepala daerah mengeluh, enam bulan tak bisa ngapa-ngapain, tapi justru enam bulan itu untuk menguji loyalitas pegawai. Sehingga, itu yang bisa jadi dasar saat memutasi pegawai
"Boleh marah-marah, tapi jangan kasar. Menegur dan memberhentikan orang itu ada syaratnya. Kepala Puskesmas Tanjung Bingkung langsung dimutasi, harus ditanya dulu mengapa tidak buka 24 jam. Banyak yang tak tahu, bahwa Puskesmas itu, IGD-nya memang tidak 24 jam. Permenkes-nya ada. Boleh emosi, boleh marah, ada mekanismenya. Mencopot orang, secara birokratis, ada aspek yang harus dimunculkan. Bawahan, wajib dibina atasan. Jangan bawahan dianggap musuh semua. Begitu tidak sesuai dengan style, langsung diberhentikan, dianggap musuh. Seolah-olah bawahan, sesuatu tak bisa diubah dan dibina. Kalau seandainya dikatakan tak bekerja, harus ditegur dulu. Jangan otaknya langsung memberhentikan orang. Ada PP 53. Beri dulu SP1, SP2, SP3. Sanksi kepegawaian itu, bukan cuma memberhentikan orang. Ada teguran lisan, tertulis, SP, nonjob, dan sebagainya," katanya.
Dosen Hukum Tata Negara Unand tersebut menegaskan pegawai-pegawai yang kini menjabat, terlepas ada aspek politiknya, negara sudah berinvestasi pada mereka. seperti ikut PIM, Diklat-Diklat, tugas belajar, dan sebagainya. Kepala daerah harus hati-hati, jangan terlalu dalam membawa birokrasi ke ranah politik. Itu yang menyebabkan birokrasi terpaksa membawa dirinya ke ranah politik.
"Pak Epyardi, segala kekuasaan yang bapak lakukan selama ini, apakah mengganti pegawai, menarik ambulans, silakan lakukan, tapi ikuti prosedur. Baca aturan. Keras silakan, tegas sesuai regulasi, bukan membabi buta. Silakan pecat orang, tapi penuhi prosedur, jangan menzalimi," ujarnya.
Evi Yandri dalam closing statemennya mengatakan SPT yang sah, adalah yang ditandatangani Ketua DPRD, karena Ketua DPRD tidak dalam posisi berhalangan dan tidak mendelegasikan tugasnya.
"Secara legalnya, SPT wakil ketua DPRD tidak bisa diterima. SPT yang sah itu, adalah SPT yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Dodi Hendra," ujarnya.
Dalam pernyataan penutup (closing statement-nya) Syamsu Rahim menyatakan cooling down perlu dilakukan, tapi cooling down jangan diartikan kegiatan dihentikan, tapi diisi dengan mediasi. Menurutnya, tak ada yang sempurna di dunia ini. Ada salah dan khilaf. Jangan ada lagi saling memanasi, adu mengadu, provokasi. Kalau dicari-cari persoalan, terlalu banyak persoalan. Ada persoalan Epyardi yang dicari-cari, begitu juga Dodi Hendra.
"Tadi malam, saya didatangi seorang rekanan, katanya ada anggota dewan yang datang, menjanjikan proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Solok. Kata saya jangan, karena kabupaten Solok sedang bermasalah. Proyek di Dinas Pendidikan dengan sekian anggaran, dan sekian fee-nya. Tentu ini pertanyaan besar, anggaran belum dibahas perubahan APBD, tapi proyek sudah ada dan sudah sudah dijual. Ini salah satu persoalan, ternyata anggota dewan mengambil fasilitas kredit di Bank Nagari. Ketika uang jalan sudah turun, tidak ada lagi yang diterima, timbul kebingungan. Pokir 10 persen fee-nya. Apalagi kalau tidak ada gaji. Jangan sampai masuk ke ranah hukum," ungkapnya. (PN-001)
Post a Comment