"Tuduhan" Arogan Tak Terbukti, BK DPRD Solok: Dodi Hendra Intimidasi dan Intervensi Lembaga Lain
SOLOK - Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Solok mengeluarkan rekomendasi pemberhentian Dodi Hendra sebagai Ketua DPRD Kabupaten Solok dalam Sidang Paripurna di Gedung DPRD Kabupaten Solok, Jumat (20/8/2021). Rekomendasi pemberhentian Dodi Hendra yang berasal dari Partai Gerindra tersebut, tertuang dalam Keputusan BK Nomor 175/01/BK/DPRD/2021 tentang sanksi pelanggaran kode etik.Namun, keputusan itu, dinilai sangat kontroversial. Ternyata Dodi Hendra "disanksi", bukan karena mosi tak percaya oleh 22 Anggota DPRD Kabupaten Solok, tapi karena kasus lain. Yakni pelaporan dari seorang guru, yang menganggap Dodi Hendra melakukan intervensi ke Dinas Pendidikan Kabupaten Solok. Selain itu, pembacaan keputusan BK di Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Solok, tidak dilakukan oleh Ketua BK DPRD Kabupaten Solok, Muhammad Syukri yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi dibacakan oleh Wakil Ketua BK DPRD Dian Anggraini, yang merupakan Ketua Fraksi Demokrat. Seperti diketahui, Fraksi Demokrat menjadi salah satu fraksi yang ikut mengajukan mosi tak percaya.
Wakil Ketua BK DPRD Kabupaten Solok, Dian Anggraini, mengatakan keputusan tersebut diambil setelah dilakukannya serangkaian pemeriksaan, pelapor (pengadu), saksi-saksi, terlapor (teradu) dan keterangan para ahli.
"Berdasarkan hasil itu dan aturan yang ada maka dinyatakan saudara Dodi Hendra telah melakukan pelanggaran sedang sebagaimana diatur dalama pasal 19 ayat 3 Peraturan DPRD Kabupaten Solok nomor 2 tahun 2019 Tentang Kode Etik, menjatuhkan dengan merekomendasikan pemberhentian jabatan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Solok periode 2019-2024 dan keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan," ucap Dian seperti dikutip hantaran.co.
Dian Anggraini mengatakan pihaknya menerima dua laporan terhadap Dodi Hendra. Pertama dari internal yakni anggota DPRD (mosi tak percaya) lalu dari eksternal yaitu warga masyarakat (guru).
"Laporan dari internal, ada 27 anggota DPRD yang melakukan mosi tak percaya pada Dodi Hendra. Namun, lima Anggota Fraksi Gerindra mencabutnya kembali, sehingga tersisa 22 orang anggota DPRD. Lalu ada warga (guru) yang melaporkan juga, dan itu kami proses sesuai aturan, dan mekanisme yang ada," ungkapnya.
Dalam dialog Advokat Sumbar Bicara di Stasiun PadangTV, Jumat malam (20/8/2021), Dian Anggraini menyebut mosi tak percaya dengan "tuduhan" bahwa Dodi Hendra arogan, setelah diproses di sidang BK, ternyata tidak bisa dibuktikan adanya pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik.
"Dodi Hendra melanggar kewajibannya dalam pasal 161 Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 yang mengatur MPR, DPR, DPRD daerah. Yakni kewajiban menjaga norma dan etika dalam berhubungan dengan lembaga lain. Dodi Hendra telah melakukan intervensi dan intimidasi terhadap lembaga lain," ujarnya.
Dian mengatakan, pihak BK DPRD akan mengirimkan hasil keputusan tersebut ke Gubernur Sumbar.
"Ada waktu 30 hari untuk melaporkannya ke gubernur lalu diperiksa lagi dan akan dikeluarkan SK nya," kata Dian.
Dodi Hendra saat dialog Advokat Sumbar Bicara di Stasiun PadangTV, Jumat malam (20/8/2021), dirinya memang pernah diperiksa BK DPRD Kabupaten Solok. Namun, Dodi mengungkapkan dirinya hanya satu kali saja dipanggil, dan setelahnya diputuskan melanggar kode etik. Saat diperiksa BK, Dodi mengaku juga ditanyai tentang dugaan intervensi ke Dinas Pendidikan Kabupaten Solok.
"Saat diperiksa, salah satu Anggota BK menanyai saya, apakah ada melakukan intervensi ke Dinas Pendidikan. Lalu saya jawab, bahwa saya dapat laporan dari sejumlah warga bahwa di sebuah sekolah tidak ada proses belajar mengajar, karena guru tidak datang berhari-hari. Lalu saya datangi sekolah tersebut dan sempat berdialog dengan siswa. Kemudian, saya datang ke Dinas Pendidikan menanyakan hal ini. Mengapa Dinas Pendidikan membiarkan hal ini. Jika itu disebut intervensi, saya bingung juga. Padahal, peristiwa itu terjadi tahun 2020, saat saya belum menjadi Ketua DPRD Kabupaten Solok. Saat itu berada di Komisi 1, yang salah satu mitranya adalah Dinas Pendidikan," terangnya.
Dodi Hendra juga mengatakan, dirinya legowo jika dinyatakan bersalah, tapi harus dengan pembuktian. Bukan dengan sekali dipanggil lalu dinyatakan bersalah. Menurutnya, hal itu tentu harus dengan cara-cara yang elegan dan bukan dengan alasan yang dicari-cari. Bahkan dengan dugaan "masa lalu", saat dirinya belum menjadi Ketua DPRD.
"Mengapa tidak sekalian saja dengan dugaan-dugaan kasus atau pelanggaran saat saya belum menjadi Anggota DPRD, atau saat saya belum bergabung ke partai, atau saat saya remaja sekalian. Tentu, hal ini sangat menyedihkan. Membuat alasan-alasan yang dicari-cari untuk mengamputasi saya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Solok yang sah," ungkapnya.
Di tempat terpisah, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Kabupaten Solok, Dr. Dendi, S.Ag, MA, mengaku terkejut dengan keluarnya rekomendasi BK DPRD Kabupaten Solok, dengan alasan Ketua DPRD melakukan intervensi ke institusi lain. Menurutnya, BK DPRD seharusnya mengacu dan fokus ke laporan mosi tak percaya dari lima fraksi di DPRD Kabupaten Solok. Jangan ada upaya "menjatuhkan" Dodi Hendra dengan membawa kasus-kasus yang lain. Jika pun ada kasus-kasus lain Dodi Hendra, Dendi menyatakan BK harus membuat sidang terpisah.
"F-PPP akan mempertanyakan hal ini. BK DPRD harusnya fokus membahas mosi tak percaya. Antara mosi tak percaya dan laporan dari masyarakat tentang Dodi Hendra, harus dibedakan. Jika mosi tak percaya dengan alasan Dodi arogan, otoriter dan tidak membagi kewenangan ke pimpinan DPRD lainnya itu tidak terbukti, pulihkan lagi nama baiknya. Bukan dengan mencari-cari alasan lainnya seperti intervensi dan intimidasi ke Dinas Pendidikan ini. Hal-hal seperti ini harus dihentikan. Jangan lagi ada upaya-upaya penzaliman, dengan alasan yang dicari-cari untuk menjatuhkan seseorang," tegasnya. (PN-001)
Post a Comment