Dunia Sastra di Bangka Belitung dan Kemunculan Penyair Itsnataini
Oleh YURNALDI
Wartawan Utama, Penyair Indonesia, Mantan Editorial KOMPAS, tinggal di Padang.
Sudah lama Bangka Belitung hening sepi dari dunia sastra Indonesia. Tidak begitu banyak penyair yang bisa dicatat dan juga tak begitu banyak aktivitas sastra yang bisa kita nikmati. Dulu, sekira 13 tahun lalu, pernah muncul sejumlah penyair dalam buku antologi puisi karya bersama, dalam tajuk Balada: Antologi Puisi Penyair Bangka-Belitung Lintas Generasi (Penerbit Emas Bangka Production, Yogyakartam 2008, 114 halaman). Setelah itu sepi lagi.
Ketika saya tinggal di Palembang, 1997-1998 dan Bangka-Belitung masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, sebagai wartawan yang penyair, saya merasakan denyut dunia sastra di Sumatera Selatan, tidak sederas denyut sastra di Padang (Sumbar), Pekanbaru (Riau), dan Bandarlampung (Lampung). Empat nama sastrawan/yang cukup menasional ketika itu adalah Koko Bae, Anwar Putra Bayu, Connie Sema, dan T Wijaya. Semuanya dari Kota Palembang. Tak seorang pun dari Bangka-Belitung.
Kalau kita cermati nama-nama penyair Bangka Belitung generasi tahun 2000-an dalam buku Balada: Antologi Puisi Penyair Bangka-Belitung Lintas Generasi, sejumlah nama dalam buku itu adalah Ahmad Daud, Agustinus Wahyono, Armyn Helmi Yudha, DN. Kelana, Dedi Priadi, Eko Maulana Ali, Emas Putra Langit, Fahrurrozi, Gautama Indra, Giovanni Deo Justicia, dan Hendra Kesumajaya.
Dan ketika Yayasan Hari Puisi Indonesia menerbitkan buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (Editor Maman S Mahayana, Kurator Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Rida K Liamsi, Ahmadun Y Herfanda, dan Hasan Aspahani), tahun 2017, dari 1.629 penyair yang terdata dalam buku itu, hanya ada dua nama penyair dari Bangka Balitung, yakni Sobron Aidit dan Yudhie Guszara.
Jika kita gali sejarah kesusasteraan di Bangka-Belitung, ada mana Hamidah atau nama lain Fatimah Hasan Delais, sastrawati, cerpenis dan penyair Angkatan Balai Pustaka, yang terkenal dengan karya Kehilangan Mestika (1938). Artinya, inilah satu-satunya perempuan penyair Indonesia dari Bangka Belitung.
Penyair Indonesia asal Aceh, LK Ara, juga pernah mencatat seorang penyair Bangka-Belitung, yaitu Saderi (lahir 13 Desember 1941 di Gantung, Belitung). Sederi pernah menempuh pendidikan SR (1957), SGB (l960), dan SPG (1968). Sejak 1 November 1960 diangkat guru negeri di SR Tanjung Batu Itam, Belitung. Dan pada tahun 1983 diangkat Kepala SD Negeri 5 di kampung kelahirannya Gantung. Sejak 1 Januari 2002 pensiun, setelah bertugas selama 41 tahun. Meski sudah pensiun sebagai guru, hobbinya membaca dan menulis tak membuat ia pensiun sebagai sastrawan. Hal ini dibuktikannya pada tahun 2003 karya sastranya membawa Saderi ke kemenangan di tingkat Nasional.
Nah, ketika dunia media massa semakin tumbuh subur dan berkembang pascareformasi, kenapa regenerasi sastrawan/penyair di Bangka Belitung seolah-olah tidak muncul? Atau intensitas dalam berkarya yang minim dan/atau kepedulian pemerintah setempat yang masih harus terus digenjot dan disemangati?
Dulu, tahun 1999, pernah terdengar kehadiran Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka, setelah terbitnya koran harian Bangka Pos miliknya Sriwijaya Post (Persda Kompas-Gramedia). Kemudian terbit buku antologi sajak para penyair Bangka-Belitung berjudul Lagu Putih Pulau Lada (Yayasan Ak@ar, 2000) Setidaknya hal ini untuk menumbuhkan semangat bersastra di negeri Kaya Timah ini. Namun, faktanya, ketika terbit buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (1917), hanya dua nama penyair Bangka-Belitung yang muncul.
Walaupun tidak banyak sastrawan Indonesia lahir/asal dari Bangka-Belintung, setidaknya pernah digelar Temu Sastrawan Indonesia II (TSI-II) di Pangkalpinang, Bangka Belitung, pada tanggal 30 Juli - 2 Agustus 2009. Pertemuan tersebut merupakan rangkaian dari pertemuan serupa setahun sebelumnya di Jambi, yang pernah saya ikuti.
Tema yang diangkat TSI II adalah Sastra Indonesia Pascakolonial; dengan beberapa subtema: (1) Merumuskan Kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas; (2) Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial; (3) Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subyek Pascakolonial; (4) Penerjemahan Sastra: Keharusan, Pilihan, atau Sekadar Perkenalan? Banyak pembicara yang hadir mengisi acara antara lain: Agus R Sarjono, Saut Situmorang, Syafrina Noorman, Haryatmoko, Katrin Bandel, Zen Hae, Anton Kurnia, Nenden Lilis, Nurhayat Arif Permana, Radhar Panca Dahana, Arif Bagus Prasetyo, John McGlynn. Materi yang disajikan para pembicara cukup bagus dan berguna untuk menambah pengetahuan peserta dalam hal sastra.
Juga dalam Malam Apresiasi ada penampilan: Tan Lioe Ie membaca puisi diiringi denting gitar, Irmansyah membaca puisi dengan selingan meniup saluang/bansi, Mezra E Pollondou membaca cerpen diseling memainkan alat musik tradisional NTT, Nur Wahida Idris baca puisi, dan lain-lain. Dalam TSI II diterbitkan 2 buku antologi, yaitu antologi cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah, dan antologi puisi Pedas Lada Pasir Kuarsa.
Sembilan tahun kemudian, digelarlah Pesta Puisi Muntok 2018, dengan kurator Isbedy Stiawan ZS (Lampung) dan Anwar Putra Bayu (Palembang). Dua penyair besar dari negeri tetangga Bangka-Belitung itu, setidaknya memberi isyarat, sudah seharusnya generasi penyair Bangka-Belitung masa kini untuk terus berkiprah dan memberi warna kehidupan sastra di Tanah Air.
Bangka-Belintung dengan segala potensi sumber daya alamnya, keindahan alamnya, dan keunikan seni-budaya, serta sejarah yang dicatat dengan tinta emas, yakni sebagai daerah yang kaya timah dan tempat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta pernah diasingkan, tentunya ini sumber inspirasi yang tak habis-habisnya.
Saya ketika bertugas di Bangka, 1990-an, pernah bertemu dengan sastrawan Seno Gumira Ajidarma di Pelabuhan Muntok. Ketika saya tanya, Seno mengaku sedang survei dan menggali data tentang tambang timah, untuk bahan menulis novel. Yang terpikir bagi saya ketika itu adalah, kenapa sastrawan yang ada di Bangka-Belitung tidak tertarik menulis novel, cerita pendek, atau puisi yang berlatar sejarah ini?
Tahun 2000-an, atau tepatnya tahun 2005, baru muncul Andrea Hirata dengan karya berjudul Laskar Pelangi (Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005). Novel pertama Andrea Hirata ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang penuh dengan keterbatasan.
Setelah novel ini difilmkan sineas Riri Riza, novel Laskar Pelanggi semakin dikenal dan sangat laris. Hingga kini, Laskar Pelangi telah diterbitkan dalam 25 versi bahasa asing dan beredar di 130 negara. Novel ini menjadi referensi di banyak sekolah, universitas, dan lembaga di luar negeri untuk studi pendidikan, sastra, dan budaya Indonesia.
Andrea Hirata sebagai penulis pun telah meraih sejumlah penghargaan internasional. Dampak positif setelah itu adalah, Provinsi Bangka-Belitung semakin terkenal dan dunia pariwisata di daerah itu semakin dilirik investor dan wisatawan dalam dan luar negeri.
Setelah Andrea dunia sastra Bangka-Belitung seolah-olah kembali sepi.
***
Tatkala media sosial semakin tumbuh subur dan menyatu dengan kemajuan teknologi informasi, berbagai genre karya sastra, berseliweran di jagad maya. Terkait dengan keheningan dunia sastra di Bangka-Belitung yang begitu lama, kemudian riuh rendah dengan kemunculan Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi (2005), dan kemudian muncul dua nama penyair Bangka-Belitung di Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017), Sobron Aidit dan Yudhie Guszara, saya seperti mendapat angin segar dengan kemunculan perempuan penyair Itsnataini kelahiran 1971 dan kini ASN di Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung.
Saya memcermati karya puisi Itsnataini di Bangka Pos edisi Minggu, 5 September 2021. Ada empat puisi menarik dengan warna khas Itsnataini, yakni Surat Sarat Sirat, Senja Bertabur Syukur, Kisah tak Basi, dan Muram Geram. Itsnataini selama ini banyak menulis puisi di media sosial akun facebooknya. Sebelumnya, karya yang dia tulis disimpan saja di laptopnya. Sebagian puisinya pun dibacakan dan dividiokan dengan bagus dan bisa disubcribe di akun youtube. Walaupun pertama kali tayang di Bangka Pos, namun sejauh pengamatan saya, Istnataini seperti memberi harapan baru dalam dunia kepenyairan di Bangka Belitung.
Dari informasi yang saya himpun, diam-diam, Itsnataini sudah menulis sejak SD dan sejak lima tahun belakangan baru berani dan intens memublikasikan di media sosial. Karena puisi-puisinya mengajak orang-orang untuk mencintai dan memuliakan kemanusiaan, menegakkan keadilan, membenci kemunafikan dan menempatkan derajat manusia pada ketinggian, derajat yang diinginkan Tuhan sebagai hamba terpilih, saya mendesak Itsnataini untuk membukukan karya-karyanya. Saya cermati komentar-komentar di laman facebook-nya, banyak pembaca suka puisi-puisi Itsnataini.
Bahkan, yang lebih mengejutkan, pertengahan September 2021 terbit buku kumpulan puisi Itsnataini yang dikemas dengan judul Garizah Kalbu, dan diterbitkan penerbit buku terbaik Sumatera Barat, anggota IKAPI, visigraff, Padang. Penerbit Visigraf yang dikeloa sastrawan Yusrizal KW ini sudah banyak menerbitkan karya sastrawan terkemuka Indonesia, seperti AA Navis (alm), Wisran Hadi (alm), Rusli Marzuki Saria, Gus tf, Iyut Fitra, Adri Sandra. Empat nama pertama sudah meraih penghargaan sastra SEA Write Award dari Kerajaan Thailand. Iyut Fitra tahun 2021 telah meraih Penghargaan Sastra dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Adri Sandra adalah penyair Indonesia pembuat dua rekor MURI.
Secara tidak langsung hal itulah yang mendorong Itsnataini menerbitkan buku Garizah Kalbu dengan harapan bisa pula menyumbangkan sesuatu bagi dunia sastra, khususnya dunia kepenyairan di Bangka Belitung. Buku kumpulan puisi Itsnataini diberi kata pengantar oleh Dr. Zurmailis, M.A., pakar sastra lulusan Universitas Gadjah Mada dan kini mengajar di Universitas Andalasa (Unand) Padang.
Ada sebanyak 71 puisi dalam buku ini, yang sekaligus sebagai penanda tahun kelahiran penyairnya, yang bisa kita nikmati. Karya puisi yang telah dihasilkan penyair ini tentu lebih banyak dari yang dihimpun dalam buku tersebut, yang bukan tidak mungkin pada waktunya akan terbit buku kumpulan puisi Itsnataini berikutnya. Semoga.
Secara umum saya mencatat, puisi-puisi karya Itsnataini adalah respons kreatif penyair terhadap kondisi kehidupan, terhadap takdir. Segala yang terasa dalam diri penyair akibat persentuhan atau penghayatan terhadap kehidupan dicernakan menjadi puisi: rasa keimanan/relijiusitas, cinta, ihwal sosial, peristiwa alam, bahkan ihwal aktivitas menulis puisi: kata, tanda baca, ditanggapi penyair secara kreatif.
Kalau puisi dimaknai sebagai jembatan kata-kata, menghubungkan rasa jiwa penyair kepada para pembaca, maka puisi-puisi penyair Itsnataini dalam buku Garizah Kalbu ini dengan mudah dicerna dan dimaknai, diambil hikmah, pelajaran, dan berkahnya. Semoga menjadi inspirasi dan motivasi.
Menurut hemat saya, buku Garizah Kalbu ini bagus dan penting menjadi referensi dan bacaan di perpustkaan sekolah, perpustakaan kantor-kantor pemerintahan, dan perpustakaan perguruan tinggi untuk lebih menghidupkan Gerakan Literasi Nasional dan Gerakan Literasi Digital yang dicanangkan Presiden Jokowi.**
(Yurnaldi adalah wartawan utama, penyair Indonesia, tokoh/penulis penerima Literacy Award dari pemerintah Provinsi Sumatera Barat (2018), penerima penghargaan atas Pengabdian dan Peran serta sebagai wartawan terhadap Pembangunan di Sumatera Selatan (2019), penulis puluhan buku-buku jurnalistik dan puisi, mentor penulisan sastra dan jurnalistik, meraih sejumlah prestasi penulisan puisi, karya jurnalistik, dan foto tingkat nasional. Bersama sastrawan Hamsad Rangkuti (alm) menghadiri Pertemuan Penulis Dunia di London, Inggris dan London Book Fair, tahun 2004). Mantan Editorial Kompas. Buku terbarunya Wartawan & Penulis Diperhitungkan: Menang dalam Kompetisi (Peneribit Rumahkayu Pustaka Utama, 2021). Kontak email: yurnaldi66@gmail.com). Yang ingin order buku karya Yurnaldi tersebut, silakan hubungi WA 081261479920.
Post a Comment