JFP: Miris, Jika ASN Jadi Wartawan, Lalu Menjadi Corong Pemerintah Secara Sepihak
Jon F Pandu: Kritikan dari Insan Media adalah Obat, Jangan Sampai Ada Monopoli Informasi Secara Sepihak yang Bisa Bikin Gaduh di Masyarakat
SOLOK - Wakil Bupati Solok, Sumbar, Jon Firman Pandu, SH, mengaku sangat miris dengan kenyataan di Kabupaten Solok, sejumlah media terafiliasi dengan pemerintah. Menurut Jon Firman Pandu, sejumlah media yang terafiliasi dengan pemerintah itu, wartawannya bahkan berasal dari kalangan aparatur sipil negara (ASN), yakni dari pegawai negeri sipil (PNS) ataupun dari tenaga harian lepas (THL). Jon Firman Pandu bahkan menyebutkan, pemberitaan dari wartawan yang berasal dari ASN itu justru menjelekkan pemerintah.
"Sungguh miris melihat sejumlah media di Kabupaten Solok saat ini yang terafiliasi dengan pemerintah. Ini adalah hal yang tidak wajar. Apalagi, wartawannya adalah ASN, baik PNS maupun THL. Bahkan, media yang terafiliasi itu, menjadi media pemerintah yang justru seringkali menjelekkan pemerintah sendiri," ujarnya.
Hal itu diungkapkan Jon Firman Pandu saat menggelar konferensi pers terkait pemberitaan sejumlah media online yang menyebutkan dirinya menerima sejumlah uang dari bakal calon Bupati Solok, Ir. Iriadi Dt Tumanggung, di kediamannya, Kamis (28/10/2021). Jon Firman Pandu menyatakan pemberitaan tersebut terlalu dipolitisasi dan membuat kegaduhan di Kabupaten Solok.
"Dari pemberitaan itu, terjadi pernyataan sepihak dari sejumlah media. Dengan pemberitaan yang terlalu dipolitisasi. Sehingga membentuk kegaduhan-kegaduhan di masyarakat, bahkan di internal Pemkab Solok," ungkapnya.
Meski begitu, Jon Firman Pandu tidak menampik, sejumlah media di Kabupaten Solok, masih mempertahankan independensinya dalam pemberitaan. Meski, media-media tersebut tidak terafiliasi, ataupun difasilitasi oleh pemerintah. Jon Firman Pandu juga menyatakan dirinya bahkan banyak mendapatkan masukan, saran, bahkan kritik dari sejumlah insan media di Kabupaten Solok. Baik saat menjadi Anggota DPRD Kabupaten Solok, maupun saat menjadi Wakil Bupati Solok.
"Masukan, saran, bahkan kritik dari insan media adalah semacam obat dan sarana instrospeksi bagi saya. Tapi, jika media sudah terafiliasi dengan pemerintah, ini kan juga tidak bagus untuk perkembangan demokrasi dan perjalanan pemerintahan. Apalagi, jika media-media itu melakukan pelemparan isu, bahkan penggiringan opini. Ini sama sekali tidak sehat dan tidak wajar dalam pembelajaran demokrasi di Kabupaten Solok," ungkapnya.
Jon Firman Pandu juga meminta insan media terus mempertahankan independensi dan daya kritisnya terhadap pemerintah dan kondisi kekikinian di masyarakat. Sehingga, pemberitaan yang diterbitkan bisa memberikan pencerdasan ke masyarakat. Serta tidak terjadi monopoli informasi.
"Kami mengajak seluruh insan pers untuk senantiasa mempertahankan independensi dan daya kritisnya terhadap pemerintahan. Bantu kami untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan," ungkapnya.
Aturan Larangan ASN Menjadi Wartawan
Sewaktu Prof DR H Bagir Manan, S.H., MCL., menjabat sebagai Ketua Dewan Pers, beliau melarang PNS untuk menjadi wartawan. Dengan itu kemudian beberapa kabupaten dan kota di negeri ini juga telah melarang ASN untuk menjadi jurnalis. Belakangan polemik ini kembali mencuat seiring beredarnya sebuah postingan di media sosial (medsos) di salah satu kabupaten di Sumbar. Postingan tersebut bermula dari sanggahan salah seorang wartawan mengatakan bahwa media yang memberitakan tentang prestasi kepala daerah bukan media tempat ia bekerja.
Ia juga mempertanyakan masih banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi wartawan, bahkan bisa pula punya media online dengan memperkerjakan ASN lainnya.
"Bahkan walinagari pun bisa jadi wartawan, alasannya jadi wartawan karena dirinya hobi menulis, haa.. haa... haa..," kata salah seorang wartawan di Kabupaten Solok sembari tertawa.
Sebagaimana diketahui, semenjak seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) resmi diangkat menjadi PNS, maka kepadanya terikat peraturan yang memuat kewajiban dan larangan yang disertai hukuman disiplin.
Salah satu peraturan yang mengikat PNS adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain diatur dalam PP, juga tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Sebagaimana dalam Pasal 4 angka 6 PP Nomor 53 Tahun 2010 tersebut dijelaskan, setiap PNS dilarang melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya, dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi merugikan negara.
Sehingga dengan PP tersebut, seorang PNS dilarang bekerja secara bersama-sama baik di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya untuk memperoleh keuntungan hingga dapat menyebakan kerugian negara, seperti selain bekerja sebagai PNS, juga bekerja sebagai notaris, pengacara, anggota legislatif, ataupun wartawan. Dalam PP diatas atau dalam setiap peraturan memang tidak secara rinci disebutkan tentang larangan merangkap pekerjaan ini dan itu.
Bagi PNS yang merangkap sebagai wartawan, di dalam perusahaan pers sepertinya larangan tersebut juga tidak ditegakkan secara tegas, bahkan mungkin aturan tersebut tidak ada. Di lain pihak, PNS yang merangkap sebagai wartawan, di lingkungan birokrasi tampaknya peraturan pemerintah yang mengatur tentang disiplin PNS juga tidak ditegakkan secara tegas. Terbukti, saat ini banyak PNS yang merangkap sebagai wartawan tapi tidak dijatuhi hukuman disiplin.
Dengan tidak adanya ketegasan pemerintah dalam hal ini, tidak sedikit oknum pegawai menjadikan profesi kewartawanan sebagai profesi yang setara pentingnya dengan profesi sebagai PNS. Padahal, dalam peraturan pemerintah, larangan double job tersebut sangat jelas, dan tidak perlu lagi menjadi perdebatan.
Untuk bekerja selain PNS, seperti misalnya menjadi anggota legislatif atau lainnya, penegakan aturan untuk menjadi calon legislatif telah ditegakkan secara tegas. Oleh sebab itu, tidak pernah ditemukan lagi adanya rangkap jabatan yang selain berprofesi sebagai PNS, juga merangkap sebagai anggota legislatif. Dan demikian juga beberapa bidang pekerjaan lainnya. Sudah waktunya masalah rangkap pekerjaan ini perlu ketegasan dari pemerintah untuk menegakkan aturan tersebut.
Perusahaan Pers pun sudah saatnya dituntut untuk menghormati peraturan pemerintah tentang disiplin PNS dengan tidak mempekerjakan seorang yang berstatus PNS sebagai wartawan.
Tak sampai disitu, juga diperlukan ketegasan penegak hukum untuk memproses pelanggaran terhadap peraturan pemerintah tersebut.
Rangkap pekerjaan PNS baik PNS Pusat atau PNS Daerah sebagai wartawan ini akan berdampak kerugian negara, karena waktu bekerja yang dibebankan oleh negara atas profesinya sebagai PNS, sebagian atau bahkan seluruhya berpotensi digunakan untuk aktivitas kewartawanan.
Selain itu, jika PNS melakukan pekerjaan lain maka pikiran dan tenaga yang bersangkutan (PNS.red) bersangkutan tidak bisa fokus lagi menjalankan tugasnya, dan ini tentu saja akan mengakibatkan kerugian negara.
Lalu, bagaimana mungkin seorang PNS bisa menjalankan kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja, sebagaimana dalam Pasal 3 PP ini, bilamana merangkap sebagai wartawan. Sedangkan jam kerja PNS pada umumnya ditetapkan jam pulang pada jam 5 sore.
Kalau meninggalkan pekerjaan pada jam kerja untuk melaksanakan kegiatan jurnalis berarti melanggar PP, sedangkan jika berdalih tidak mengganggu kewajibannya sebagai PNS, maka kapan bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang Jurnalis.
Seharusnya PNS bekerja maksimal untuk kepentingan masyarakat karena PNS digaji oleh negara untuk melayani masyarakat. Tetapi, faktanya banyak PNS saat ini bekerja juga sebagai wartawan, bahkan lebih memprioritaskan pekerjaan sebagai wartawan ketimbang mengutamakan sebagai PNS.
Ini dapat kita lihat di beberapa kabupaten dan berdasarkan informasi dari pemberitaan media massa tentang adanya oknum PNS yang merangkap sebagai wartawan.
Undang-undang Pers menyebutkan bahwa Pers berfungsi sebagai sosial kontrol, dan menuntut sikap independen, nah bagaimana mungkin seorang wartawan dapat mengontrol lembaga atau instansi pemerintah dan bersikap independen, sementara PNS adalah aparat pemerintah yang harus taat selain kepada pimpinan juga kepada aturan yang berlaku di lingkungan PNS.
Mustahil seorang PNS yang merangkap sebagai wartawan dapat melaksanakan profesi ganda tersebut secara profesional karena akan berbenturan satu sama lain. Di sisi lain, Pers harus melaksanakan kontrol sosial terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif serta lembaga lainnya, lain sisi, PNS adalah menjadi salah satu obyek terhadap fungsi kontrol sosial dari Pers.
Pastinya dengan double job tersebut seorang PNS yang rangkap Jurnalis tidak akan mampu menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Sehingga timbulnya konflik kepentingan nantinya bisa berujung menabrak Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. (*/PN-001)
Post a Comment